Jilbab Pertamaku – titik balik pandangan hidupku!

1998 – 2001

“Prem” begitu mereka memanggilku dulu.
Kalo inget jaman smu dulu, saya jadi tersenyum-senyum sendiri sambil banyak-banyak beristighfar.

Indah “Prem”, teman-teman memberi julukan seperti itu karena memang kelakuan saya waktu itu hampir mirip “PREMan” (astaghfirullah’adzim). Bukan.. bukan karena saya tukang palak atau tukang mabuk-mabukan. Tapi lebih karena tampang dan gaya saya yang selenge’an, lebih dari tomboy.

Soal sekolah jangan harap berprestasi, masuk sekolah ya sekenanya, di blacklist guru jadi langganan saya, dipanggil guru BP juga langganan saya. Kalo dulu di SLTP saya masuk rangking 5 besar di SMU juga sama, bedanya di SMU 5 besar murid pembangkang. Tampang saya yang kurus plus mata saya yang (dari SLTP mudah) merah, membuat banyak orang bersu’udzan sehingga tambah-tambah mengecap saya sebagai anak nakal.

Saya tidak menyalahkan mereka karena memang pergaulan saya dekat dengan itu dulu. Narkoba? Alhamdulillah saya tidak tergerak mencobanya, meski lingkungan pergaulan saya dan teman-teman dekat saya waktu itu akrab dengan narkoba. Mayoritas teman saya adalah laki-laki, meski saya juga punya beberapa temen dekat perempuan. Bagi saya waktu itu, dicap sebagai “pembangkang” adalah suatu prestasi, kereeeen sekali kedengaranya. Tapi kalo menurut bapak saya, nakal saya dulu adalah nakal yang bertanggung jawab. Mungkin karena hampir setiap sepak terjang saya, saya laporkan ke bapak ketika pulang kampung. SMU saya indekost di kotamadya, dan pulang ke rumah setiap akhir pekan. Orang tua saya termasuk orang tua yang menerapkan prinsip “bebas bertanggungjawab”, silahkan berbuat sesukanya tapi tanggung sendiri akibatnya.

Salah satu dosa besar saya waktu dulu adalah, suka menggoda anak rohis. Ya saya suka jahil sama anak-anak rohis itu, karena saya sering tidak habis fikir sama gerak-gerik mereka. Misalnya yang perempuan (berjilbab lebar tak seperti teman saya yang kebanyakan berjilbab sekadarnya), saya pernah bertanya pada anggota rohis perempuan waktu itu “Kenapa siy jilbabnya musti lebar?” (menutup dada). Temen saya waktu itu menjawab sambil tersenyum “Ini Panggilan Hati” hmmm saya cuma terbengong-bengong diberi jawaban seperti itu dan memilih untuk tidak bertanya lebih lanjut. Kalo anggota rohis laki-laki tidak jarang juga saya jahilin. Mereka kan tidak mau menyentuh lawan jenis, misalnya saja salaman, jadinya saya suka iseng duduk dekat-dekat mereka. Walhasil mereka bakal beringsut-ringsut menghindar, kalo sudah begitu saya langsung cekikikan. Astaghfirullah’adzim.

Soal gaya hidup, ughhh jangan ditanya “sok keren”-nya. Berbeda dengan teman-teman saya yang mempunyai ortu kaya, ortu saya berpenghasilan tak seberapa. Tapi tuntutan pergaulan seringkali memaksa saya, untuk tampil “keren”. Merk atau keluaran distro adalah prestise tersendiri bagi saya. Saya rela menabung untuk membeli barang-barang bermerk(tas, sepatu, jaket dll) itu. Sebenernya saya cukup beruntung karna teman-teman saya yg kaya raya itu malah menukarkan tas bermerknya dengan tas lusuh jahitan ibu saya. Kata mereka tas saya jauh lebih nyentrik. Sementara saya bangga mengenakan tas, jaket, topi bermerk(kadang-kadang pinjaman), teman-teman saya yg kaya itu malah bangga bergiliran mengenakan tas selempang berbahan katun garis-garis, yang dijahit sekedarnya oleh ibu saya. Begitulah “rumput tetangga terkadang terlihat lebih hijau”

2001

Selepas SMU karena belum ada biaya kuliah, saya hijrah ke Jakarta. Disinilah saya mulai mengenal hidup sesungguhnya. Saya mulai belajar menghargai waktu, uang dan hidup. Menghargai bahwa hidup tidak hanya main-main, bergaul, keren-kerenan atau kongkow-kongkow ga jelas dll. Saya mulai bekerja, mulai mengerti bahwa perlu banyak peluh untuk sekedar hidup apalagi bergaya.

Pekerjaan pertama saya ketika itu adalah ‘penjaga toko kaset’, tugasnya selain menjaga toko juga bertanggung jawab pada proses order album-album terbaru. Tes masuk ketika itu sangat mudah saya lalui. Bagaimana tidak mudah, kalo tes masuknya adalah menyebutkan 10 lagu-lagu terhits Indonesia dan Barat. Sebagai anak “gaul”, waktu itu saya hapal diluar kepala hal-hal seperti itu. Jam kerja saya dimulai dari jam 09.00 – 21.00, liburpun hanya boleh di hari kerja, weekend haram hukumnya libur.

Sampai akhirnya saya bertemu dengan seseorang yang mengenalkan islam yang sesungguhnya. Beliau mengenali saya ketika sedang menjaga toko. “Kamu yang suka nongkrong di depan SMUDA kan?” todongnya. Terus terang saya tidak mengenal beliau, seorang laki-laki yang ternyata dulu sekolah di kota yang sama dengan saya (Purwokerto). Beliau mengenali saya karena saya sering kongkow-kongkow di jalanan yang sering dilaluinya dulu.

Awalnya saya su’udzan pada beliau, mengira bahwa “laki-laki kalo sok kenal biasanya ada maunya”. Tapi ternyata saya salah, beliau tidak seperti perkiraan saya. Yang saya tahu beliau sama dengan anak-anak rohis di SMU dulu, tidak mau bersalaman, tidak mau memandang langsung pada lawan jenis (istilahnya gadhul bashar). Diskusi biasanya kami lakukan di sela-sela saya menjaga toko karena hampir tiap pekan beliau datang sekedar membeli kaset nasyid atau mampir setelah ke toko buku di sebelah. Sampai suatu ketika saya tertohok sekali pada pertanyaan beliau “Maaf ya indah saya mau Tanya, indah itu agamanya apa ya?, saya sedikit tersinggung waktu itu, apa tampang saya gak ada islam-islamnya ya? atau saya kurang fasih menjawab salam?. Dari pertanyaan itulah kemudian beliau menjelaskan tentang pentingnya aurat dll. Biasanya saya akan keras dengan orang-orang yang mengatur saya, tapi himbauan beliau waktu itu tak terdengar seperti “aturan”.

Bagi saya beliau adalah guru saya, Kata beliau “Apabila seseorang mendapatkan hidayah melalui seruanmu, itu lebih baik untukmu daripada memiliki onta merah. Nah kalo jaman sekarang mungkin sama dengan ferrari merah”. Itu ucap beliau ketika mengenalkan saya pada amal ma’ruf nahi munkar, kita hanya bertugas untuk menyampaikan, masalah hidayah Allah yang mengaturnya.

Saya mulai mengamati orang-orang yang sering beliau ceritakan, wanita yang menutup aurat. Hijab yang ternyata sudah ada aturanya dalam Al-Qur’an, berpakaian longgar, tidak menerawang plus jilbab yang menutup dada. Waktu itu saya suka merasa iri dengan wanita-wanita berjilbab panjang yang saya temui di jalan. Jilbabnya berkibar-kibar, auratnya sempurna tertutup. Anggun sekali kelihatanya. Saya hanya berfikir, bisa tidak yah saya seperti itu?.

2002

Sampai suatu hari di bulan Ramadhan (18 November 2002) , ketika hendak kuliah dan bercermin saya merasa ada yang kurang. Setelah merenung beberapa saat, saya menghampiri (alm) kakak perempuan saya. “Mba, aku pinjem jilbab mba yang warna hitam ya”. Saya meminta izin meminjam jilbab padanya. Kakak saya sempat bengong lalu beberapa saat kemudian berbicara “Emang kuliah mau pake jilbab?” tanyanya heran. Aku mengangguk kecil sambil berucap “iya”. Kakak saya tidak beranjak malah bertanya kembali “Serius mau pake jilbab?”. Saya mengangguk lagi. Sedetik kemudian saya malah dihujani pertanyaan dan nasihat “Kalo pake jilbab berarti seterusnya harus pake ya, ga dicopot pake, copot pake” begitu kurang lebih nasehatnya. Padahal (alm) kakak saya waktu itu juga belum berjilbab.

Akhirnya setelah berjibaku dengan jilbab dan peniti, terpasang juga kain itu di kepala saya. Jilbab hitam tipi
s, saya pakai dengan model sekedarnya, menjuntai menutupi dada saya. Tapi.. rasanya ada yang kurang, kaos yang saya pakai masih berlengan pendek, akhirnya saya ambil sweater. Kembali bercermin… ah saya tersenyum, lengkap sudah. Padu padan saya waktu itu adalah sweater biru donker, jilbab hitam, celana panjang hitam dan sepatu kets.

Esok harinya, saya kembali meminjam jilbab kakak saya plus gamis tua warisan ibu. Saya bukan hendak kuliah tapi saya mau pergi ke pasar. Saya yang memutuskan berhenti bekerja selepas mendaftar kuliah, membawa simpanan terakhir saya. Sebuah cincin emas, saya ke pasar dan menjualnya. Saya ingin membeli jilbab dengan uang itu. Setelah menjual cincin, saya keliling pasar mencari jilbab yang saya maksud (lebar dan tebal), hampir seluruh pasar saya kelilingi tapi tidak juga saya temukan jilbab yang saya inginkan itu. Sampai akhirnya saya singgah di sebuah kios. Setelah saya jelaskan jilbab yang saya maksud, pedagangnya berujar “Oooo jilbab akhwat ya! Kalo jilbab akhwat ga ada mba, adanya jilbab ini, ini juga lebar koQ”. Akhwat? Kata-kata itu terasa asing sekali di telinga saya. Saya belum tau apa itu akhwat. Pedagang itu menunjukan jilbar lebar hijau, tipis. Karena sudah lelah saya putuskan untuk membeli jilbab itu. Kalo warnanya gelap mungkin tidak akan menerawang, pikir saya. Saya membeli 2 jilbab warna hijau tua dan biru tua. Alhamdulillah jilbab hijau tua masih suka saya pakai hingga sekarang, yang biru ntah sudah kemana.

Selanjutnya kurang lebih dua pekan saya memadu padankan 3 jilbab itu, hitam (milik kakak saya), dan dua jilbab baru saya hijau dan biru. Bajunya, baju biasa yang saya pakai, celana panjang, kaos dan kali ini ditambah sweater/ jaket. Reaksi teman-teman banyak yang kaget. Saya yg biasa kuliah duduk di belakang bersama teman-teman se-krl(mayoritas laki-laki) mulai perlahan pindah ke depan. Sampai teman-teman saya sempet mengira saya tidak masuk, dan kemudian terbengong-bengong mendapati saya berjilbab.

Dua pekan berlalu, libur Idul Fitri, saya pulang kampung. Ibu dan bapak dan juga mbah bahagia sekali melihat perubahan penampilan saya yang baru. Biasanya saya mudik hanya mengenakan kaos dan celana pendek cargo ¾, tapi kali ini aurat saya tertutup. Setelah saya ceritakan keluhan saya pada ibu (susahnya mencari jilbab yang lebar dan tebal), akhirnya ibu memutuskan untuk membelikan saya kain. Kemudian membuatkan saya rok A line yang lebar dan jilbab dari kain2 tersebut. Jilbabnya dibuat dari kain yang dipotong segi empat kemudian di neci pinggiranya. Jadinya saya punya 3 stell rok & jilbab dengan bahan yang sama, coklat tua, biru tua dan hitam. Ketiga jilbab itu masih suka saya pake hingga sekarang.

Senangnya hati saya…
Balik lagi keJakarta saya sudah merasa lebih mantap berhijab, jilbab yang saya pake sudah seperti yang saya mau. Saya juga memakai rok, padahal sebelumnya saya asing dengan rok, bahkan di SMU dulu saya suka memakai celana abu-abu di hari jum’at (hari seragam bebas). Tapi perubahan itu tidak mengganggu saya, justru membuat saya merasa lebih nyaman. Sekarang sekali melihat saya, orang akan tahu bahwa saya seorang muslimah, dan saya bangga akan itu.

Ketika masuk kuliah lagi saya mulai bergabung dengan rohis kampus, masih inget waktu ikut keputrian pertama kali. Mba-mbanya mengira saya sudah “mengaji” lama karena saya paling cerewet di antara anggota baru lainya. Hehe… padahal saya cerewet nanya karena memang banyak yang saya belum tahu. Bergaul dengan mba-mba di rohis kampus, saya mulai belajar banyak hal.Terutama soal hijab, karena tidak ada yang mengajari saya sebelumnya.

Masih ingat dulu saya berteriak girang di toilet kampus sampai bikin orang-orang kebingungan, gara-gara untuk pertama kalinya saya berhasil memakai jilbab double. Jilbab yg tipis bisa di double dengan jilbab lainya (biasanya warna putih) agar tidak menerawang. Mulai tau, kalo mba-mba yg setiap hari pake rok itu. Mereka juga selalu memakai celana panjang di balik roknya, biar tetap tertutup kalo musti ngejar bus, krl atau naik motor katanya. Mulai ngeh kalo yang dipake di tangan itu namanya manset, saya pikir dulu mereka memakai kaos lagi di balik bajunya. Mulai tau ada toko khusus muslimah yang menjual jilbab-jilbab aneka model yang selama ini tidak saya temukan di pasar. Dan yang paling berharga adalah mulai belajar mengenai arti ukhuwah, arti kesederhanaan, mulai belajar untuk memaknai hidup, belajar beribadah dan terus belajar hingga sekarang. Sejak itu hidup saya jadi semakin berwarna.

……
Reuni akbar pertama dengan teman-teman SMU waktu itu saya sempat membuat heboh. Banyak teman-teman yang terbengong-bengong. Indah Prem sudah tidak ada lagi yang ada sekarang Indah ExPrem. Tongkrongan saya juga berubah, tongkrongan saya waktu reuni adalah dimasjid sekolah dengan anak-anak alumni rohis SMU, membicarakan prospek rohis sekolah ke depan, bukan lagi dengan mantan gerombolan pembangkang. Alhamdulillah teman-teman saya yang dulu sama-sama gerombolan “pembangkang” tidak menghindari saya. Mereka menghargai perubahan saya, meski banyak diantaranya yang tidak habis pikir katanya. Oya, saya juga menggunakan kesempatan itu untuk meminta maaf pada mereka (anggota rohis), terutama yang suka saya jahilin dulu. Tenang hati rasanya.

Sekarang saya mengerti seperti apa rasanya panggilan hati itu.

Bagi saya masa lalu adalah bagian dari proses kehidupan. Masa lalu adalah guru saya, masa lalu adalah tempat saya mengaca untuk menjadi lebih baik di hari depan. Masa lalu juga yang menempa saya menjadi seperti ini sekarang. Jika saya melihat perempuan yang belum berhijab, terkadang saya membayangkan diri saya dulu. Seperti apapun keadaan seseorang, tidak menutup kemungkinan suatu saat mereka juga menutup aurat.

Tapi terus terang saya kurang setuju jika ada yang berdalih “belum berjilbab karena belum dapat hidayah”. Karena bagi saya hidayah itu tidak datang sendirinya janganlah menjadikan hidayah sebagai kambing putihnya. Hidayah bukan sekedar ditunggu-tunggu, hidayah harus kita kejar dan kita dekati. Salah satu cara mengejarnya adalah mendekati sumbernya, belajar dari orang-orang yang shalih/ah, bergaul di tempat-tempat yang baik. Dan setelah didapat hidayah itu bukan tidak mungkin akan lepas kembali jika kita tidak berazzam untuk menjaganya.

“Wahai Dzat yang membolak-balikan hati, tetapkanlah hati kami dalam agama (Islam), tetapkanlah kami dalam hidayahMu”

Tulisan ini diikut sertakan dalam lomba menulis dengan tema Jilbab Pertamaku, yang digagas oleh Uni Dian

Ket foto : saya dipernikahan om(bontot), sedang hamil muda(Gaza), plus jilbab(neci) kebanggaan yang sampai sekarang masih sering dipakai

Note :
*akhwat : Di Indonesia seringkali terjadi pergeseran makna tentang akhwat, akhwat seringkali hanya dilabelkan pada orang-orang yang mengkaji agama secara lebih mendalam atau wanita berjilbab lebar, arti sebenarnya dari akhwat adalah saudara (perempuan)

39 responses to “Jilbab Pertamaku – titik balik pandangan hidupku!”

  1. terharu biru bacanya. ternyata prem jg, ya dirimu.

  2. ianaja said: terharu biru bacanya. ternyata prem jg, ya dirimu.

    sekarang mudah2an udah bener2 exprem meski kadang masih ada sisa-sisanya hehe…

  3. kisah yang menginspirasi. 🙂 iya ndah, arti akhwat sekarang seolah mengalami penyempitan arti; yakni hanya yang pengamalan ilmu agamanya sudah baik. 😀

  4. mendengar dari kiki tentang indah prem itu :)mungkin karna indah putih,bermata sipit seperti cina ya, jadi ditanya beragama apa? 🙂

  5. tianarief said: kisah yang menginspirasi. 🙂 iya ndah, arti akhwat sekarang seolah mengalami penyempitan arti; yakni hanya yang pengamalan ilmu agamanya sudah baik. 😀

    makasih om tian. pergeseran makna kt ikhwan atau akhwat kadang malah membuat kesan “eksklusif”, org yg ingin mengaji jd enggan bergabung karena merasa bukan akhwat/ ikhwan 😦

  6. inimona said: mendengar dari kiki tentang indah prem itu :)mungkin karna indah putih,bermata sipit seperti cina ya, jadi ditanya beragama apa? 🙂

    nah kalo si kiki temen SMUku itu pasti tau persis reputasi Indah Prem (maluuuu)Mataku gak sipit kak, tapi cenderung sayu (apa ngantuk?)

  7. waahh… subhanallah…. iya… bener tuh mba, hidayah bukan didapat, tapi dicari, karena setiap orang diberi akal untuk berfikir 🙂

  8. Ahh, baru tau kisah ndahe di masa lalu…smg kita semua diberikan keistiqomahan hingga nanti bs khusnul khotimah di akhir hayat kita, amiin…

  9. iahsunshine28 said: waahh… subhanallah…. iya… bener tuh mba, hidayah bukan didapat, tapi dicari, karena setiap orang diberi akal untuk berfikir 🙂

    dicari dan dijaga :Dsemoga kita semua bisa terus istiqomah

  10. peduli said: Ahh, baru tau kisah ndahe di masa lalu…smg kita semua diberikan keistiqomahan hingga nanti bs khusnul khotimah di akhir hayat kita, amiin…

    smoga Khusnul Khotimah dan dijauhkan dari Su’ul Khotimah, Amiiin.Awalnya ragu2 menceritakanya tapi suami kasih support, semoga bisa diambil hikmahnya.

  11. Jilbab biru yang membuat jatuh cinta….

  12. waaah grombolan pembangkangnya ada si togie ya ndah?…*maap*dulu si togiie ngeadd sbg sesama alumni trus dia ngelink kan ke indah,wkt itu aku lg merana-merananya disharkia jd klo lihat ada org pwt lgs syenang buanget.

  13. aulelrahman said: Jilbab biru yang membuat jatuh cinta….

    terimakasih sudah menerimaku apa adanya ya abu Gaza 🙂

  14. himma said: waaah grombolan pembangkangnya ada si togie ya ndah?…*maap*dulu si togiie ngeadd sbg sesama alumni trus dia ngelink kan ke indah,wkt itu aku lg merana-merananya disharkia jd klo lihat ada org pwt lgs syenang buanget.

    kalo togie itu dulu malah termasuk gerombolan adem ayem, murid2 manis, boleh dibilang dulu ga pernah ngobrol sama indah :D.sekarang di Solo merana gak? seneng juga donk liat org pwt kayak aku :d

  15. hahaha itu juga dulu awal-awal disharkia kok ndah..setelahnya ya betah juga akhirnya krn byk teman maya kan berasa dekat.iyah skrg byk teman pwt dimana-mana……

  16. hahaaa… pengen ketemu ummu-nya Gaza ya Prem aaahhh… heuheuuu

  17. fetryz said: hahaaa… pengen ketemu ummu-nya Gaza ya Prem aaahhh… heuheuuu

    psssst ambu, Premnya udah pensiun kekekeke

  18. Aku pilih iniiiiiiiiiiiiiiiiiiiii 🙂

  19. bundaelly said: Aku pilih iniiiiiiiiiiiiiiiiiiiii 🙂

    pilih mana niypilih Ummu Gaza apa Prem hehehe

  20. pengen deh ikutan nulis….

  21. simplyndah said: pergeseran makna kt ikhwan atau akhwat kadang malah membuat kesan “eksklusif”, org yg ingin mengaji jd enggan bergabung karena merasa bukan akhwat/ ikhwan 😦

    iyah.. padahal kan gak gitu..karena kesannya eksklusif, jadi inget duluu.. temen2ku (preman :p ), bikin istilah “bakwan”, maksudnya “bakalan ikhwan..(nantinya)” dengan kata lain belum ikhwan-ikhwan banget.. hihi..

  22. worotarie said: pengen deh ikutan nulis….

    ayoo nulis mba 🙂

  23. trully said: karena kesannya eksklusif, jadi inget duluu.. temen2ku (preman :p ), bikin istilah “bakwan”, maksudnya “bakalan ikhwan..(nantinya)” dengan kata lain belum ikhwan-ikhwan banget.. hihi..

    ada juga yang pake istilah atong “akhwat sepotong” atau itong “ikhwan sepotong, maksudnya baru setengah-setengah gitu .aya aya wae

  24. labkomku said: keren mba,,, ^_^*nosy*

    weleeeh niy anak, kirain siapa 😀

  25. waduuuh belum jadi uni kunjungi waktu itu ya.. maaf ya indaaaah..:)

  26. wah uni malah sampe hari ini tidak pernah tergabung dengan rohis.. *sedih ya ? 😦

  27. cambai said: waduuuh belum jadi uni kunjungi waktu itu ya.. maaf ya indaaaah..:)

    gpp uni, saking banyaknya ya peserta lombanya 😀

  28. cambai said: wah uni malah sampe hari ini tidak pernah tergabung dengan rohis.. *sedih ya ? 😦

    ga harus sedih uni, kan dakwah bisa lewat mana aja, kaya yg uni bilang lewat tulisan salah satunya 😀

  29. wennyrad said: huks..

    huks artinya apa ya? sama dengan hikks atau hug ? hehesalam kenal mba

  30. mbaaakkpengen melu lomba ikidetlene kapan???

  31. bundafahri said: mbaaakkpengen melu lomba ikidetlene kapan???

    ayooo ikut-ikuuut biar tambah rameedeadlinenya akhir bulan oktober, masih lama, coba cek ketentuanya di link atas 🙂

  32. simplyndah said: ayooo ikut-ikuuut biar tambah rameedeadlinenya akhir bulan oktober, masih lama, coba cek ketentuanya di link atas 🙂

    alhamdulillah…..mupeng2 nih,semoga bisa teratasi semua

  33. iya sama mba..hehehsalam kenal juga^^

  34. nggak pernah punya jilbab pertamahehehehehe

  35. aha kereeennn.. ternyata pernah jadi “preman”..cerita jilbab pertamaku sih menyedihkan.. ku juga ikutan lomba ini.. yang menang siapa ya? lupa.. janganjangan indah juga yang menang? ceritanya keren bener..tapi iya ku sih blom pengen jilbaban.. [bukan blom siap ato blom ada hidayah, tapi emang blom pengen]

  36. dari lomba ini hasilnya dah jadi buku mba tin, ini bukunya Yang koordinir uni Dian, tulisanku yg ini ada disitu juga meski cuma dapet juara 10 hehe.Moga2 mba tin, segera dapat hidayah ya :). Aamiin

Leave a comment